-->

Aru dan Dilema Pelestarian Budaya di Sulawesi Selatan




Sulawesi Selatan, Sulawesibersatu.com - Seni tradisi adalah warisan berharga yang menjadi identitas suatu masyarakat. Namun, bagaimana jika tradisi harus menghadapi perubahan zaman dan tuntutan modernitas? Inilah yang kini terjadi pada "Aru," sebuah kesenian berupa Ikrar seorang prajurit kepada pemimpinnya dalam budaya Sulawesi Selatan, yang belakangan kerap diperdebatkan karena penggunaannya di luar konteks kerajaan.


Sebagai bagian dari warisan budaya, Aru memiliki makna sakral yang berakar pada sistem sosial kerajaan. Dalam sejarahnya, Aru adalah simbol pengabdian dan loyalitas prajurit kepada pemimpinnya, sebuah sumpah kesetiaan yang diucapkan dengan penuh penghormatan. Namun, seiring dengan perkembangan zaman, selain dilaksanakan di acara kerajaan, Aru kini lebih sering ditampilkan dalam berbagai acara termasuk di acara pernikahan, hal ini menimbulkan perbedaan pendapat mengenai relevansi dan pelaksanaannya.


Sebagian kalangan berpendapat bahwa menampilkan Aru pada acara pengantin merupakan bentuk penyimpangan dari makna historisnya. Menganggap bahwa naskah dalam aru tidak sesuai jika dilaksanakan di acara pengantin. Argumen ini berangkat dari pemahaman bahwa seni dan tradisi harus tetap terikat pada konteks asalnya. Namun, argumen ini perlu ditinjau ulang dengan mempertimbangkan realitas sosial dan keberlanjutan budaya. Jika Aru hanya diperuntukkan bagi upacara kerajaan, maka eksistensinya akan semakin terancam mengingat acara kerajaan sangat jarang digelar ketimbang acara pengantin dan panggung pertunjukan. Jika Aru kehilangan ruang ekspresi, bagaimana mungkin tradisi ini dapat diwariskan kepada generasi berikutnya? Tanpa adaptasi, Aru justru akan mati perlahan dalam ingatan kolektif masyarakat.


Pandangan budaya di era saat ini, mestinya menegaskan bahwa budaya adalah sistem makna yang fleksibel dan dapat berubah sesuai interpretasi masyarakat. Dengan kata lain, pelestarian budaya bukan berarti membatasi seni pada ruang-ruang lama, tetapi justru memberinya kesempatan untuk berkembang dalam konteks yang lebih luas.


Namun, dalam upaya pelestarian ini, ada aspek penting yang tidak boleh diabaikan yakni esensi filosofis yang terkandung dalam Aru itu sendiri. Salah satu simbol kuat dalam tradisi Aru adalah badik, yang memiliki makna mendalam dalam budaya Sulawesi Selatan. Filosofi badik dalam ungkapan lokal berbunyi, “Ri dallekang nu ujung, ri tangga na pamoro, na riboko  nu pangulu.” Artinya, seorang pemimpin, jika berada di depan, ia harus menjadi pembuka jalan dan teladan bagi yang dipimpinnya. Jika berada di tengah, ia harus memiliki pamor, karisma, wibawa, dan kemampuan untuk mengayomi, melindungi, serta melayani rakyatnya. Jika berada di belakang, ia menjadi penghulu, pegangan atau gagang yang mendorong kemajuan rakyatnya. Ini bukan sekedar ungkapan, tetapi prinsip kepemimpinan yang harus terus diwariskan dalam praktik Aru.


Selain itu, penting dipahami bahwa dalam esensi aslinya, Aru bukanlah untuk sembarang orang. Mereka yang melakukan Aru bukanlah individu biasa, tetapi seorang prajurit yang memiliki ilmu, dalam bahasa Makassar disebut Burakne Sulapa atau Segi Empat. Ini berarti seorang laki-laki yang memiliki kemampuan dalam berbagai aspek, atau dalam istilah lain disebut tau sangka, sosok yang tidak hanya kuat secara fisik, tetapi juga matang dalam kecerdasan, strategi, dan kebijaksanaan. Konsep ini adalah bagian tak terpisahkan dari Aru dan seharusnya menjadi bagian dari edukasi bagi mereka yang ingin melestarikan tradisi ini.


Namun, ada permasalahan lain yang muncul dalam praktik Aru belakangan ini, yakni meningkatnya kejadian tragis yang menelan korban jiwa akibat atraksi penggunaan senjata tajam, seperti badik. Tidak sedikit pelaku Aru yang mengalami luka serius, bahkan meninggal dunia karena aksi yang tidak terkendali. Fenomena ini bukan alasan untuk menghapus Aru di acara pengantin, tetapi justru menjadi peringatan bahwa diperlukan edukasi yang lebih baik tentang esensi Aru itu sendiri.


Dalam tradisi aslinya, Aru bukanlah ajang unjuk kebolehan dalam menggunakan senjata tajam. Besi dalam budaya Sulawesi Selatan memiliki filosofi mendalam, tidak sekedar sebagai alat perang, tetapi juga sebagai simbol kehormatan dan tanggung jawab. Oleh karena itu, mereka yang melakukan Aru harus memahami etika dalam pelaksanaannya, bukan justru menjadikannya sebagai aksi ekstrem yang berisiko tinggi. Perlu ada penegasan kembali bahwa Aru adalah bentuk ikrar seorang prajurit kepada rajanya, bukan arena pertunjukan kekerasan.


Melirik di daerah lain, seperti jawa. Banyak seni tradisional  yang mengalami pergeseran makna tanpa kehilangan esensinya. Tari Bedhaya yang dulunya eksklusif untuk keraton kini dipentaskan di berbagai acara budaya. Wayang kulit yang awalnya sakral kini menjadi media hiburan sekaligus kritik sosial. Jika semua seni harus dikembalikan ke konteks aslinya, tidak membuka ruang untuk konteks lain yang berbeda maka banyak warisan budaya kita yang akan mati karena terbatasnya ruang ekspresi.


Larangan Aru dalam berbagai acara di luar acara kerajaan justru akan membawa dampak buruk bagi keberlanjutan seni ini. Jika kita ingin melestarikan budaya, maka kita harus memberinya ruang untuk berkembang, bukan mengurungnya dalam batasan-batasan yang tidak lagi relevan dengan kondisi masyarakat saat ini. Oleh karena itu, Aru tidak seharusnya dilarang, melainkan harus dipandang sebagai bagian dari evolusi budaya yang memperkuat jati diri masyarakat Sulawesi Selatan.

Namun demikian, edukasi tentang bagaimana Aru seharusnya dipraktikkan harus diperkuat. Pelaksanaan Aru harus tetap berada dalam koridor etika budaya dan keselamatan, agar tidak berubah menjadi tontonan berbahaya yang justru mencoreng nilai-nilai luhur yang terkandung di dalamnya.


Pelestarian budaya bukan sekedar soal mempertahankan tradisi dalam bentuk aslinya, tetapi juga bagaimana ia bisa terus hidup dan relevan bagi generasi yang akan datang. Sebab, budaya yang tidak berkembang adalah budaya yang perlahan menuju kepunahan. (Dita Pahebong)

Berlangganan update artikel terbaru via email:

0 Response to "Aru dan Dilema Pelestarian Budaya di Sulawesi Selatan"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel